Pemanfaatan Limbah Pabrik Kelapa Sawit Sebagai Pembangkit Listrik
Aktivitas produksi pabrik kelapa sawit
(PKS) menghasilkan limbah dalam volume sangat besar. Limbah yang
dihasilkan dapat berupa padatan maupun cair. Limbah tersebut memiliki
nilai kalor cukup tinggi. Pemanfaatannya akan menghasilkanbahan bakar
yang bisa dipakai salah satunya untuk pembangkitan listrk.
Untuk sebuah PKS dengan kapasitas 100
ribu ton tandan buah segar (TBS) per tahun akan dihasilkan sekitar 6
ribu ton cangkang, 12 ribu ton serabut dan 23 ribu ton tandan
buah kosong (TBK). Serabut dan cangkang dapat dipakai langsung
begitu keluar dari proses produksi sebagai bahan bakar, sedang TBK harus
mengalami pengeringan tanpa sinar matahari langsung. Dengan efisiensi
pembangkitan sekitar 25%, dapat diperoleh energi listrik sebesar 7,2 –
8,4 GW(e)h untuk cangkang, 9,2 – 15,9GW(e)h untuk serabut, dan 30 GW(e)h
untuk TBK. Melalui digester anaerob, dapat diperolah biogas dari limbah
cairnya.Dengan kapasitas dan asumsi sama, listrik yang dapat
dibangkitkan minimal sebesar 1,38 GW(e)h. Untuk kondisi ini
kebutuhan listrik untuk produksi adalah sebesar 1,4 – 1,6
GW(e)h. Penanganan limbah dengan baik akan mampu menekan potensi
pencemaran lingkungan dan menghasilkan listrik untuk operasional PKS
sekaligus kebutuhan di daerah sekitar.
Secara umum, limbah PKS dikelompokkan
menjadi limbah padat dan limbah cair (Palm Oil Mill Effluent/POME).
Biasanya limbah cair tersebut mengandung bahan organik dalam kadar
tinggi sehingga berpotensi mencemari lingkungan karena diperlukan
degradasi bahan organik yang lebih besar. Mekanisme kontrol konsumsi air
di seluruh proses di pabrik akan menentukan pemakaian air dan sekaligus
volume air limbah yang dihasilkan oleh PKS. Untuk tiap ton TBS yang
diolah dalam PKS diperlukan antara 1 – 2 ton air (Tobing, 1997). Pasok
air biasa diambil dari lingkungan sekitar, misal sungai. Limbah cair
yang dihasilkan sekitar 550 kg per ton TBS yang diolah, dengan berat
jenis antara 1,05 hingga 1,1 g/cm3 (Kartiman, 2008). Mangoensoekarjo
dan Semangun (2005) menyebutkan bahwa limbah cair mencapai 40% – 70% TBS
yang diolah. Kisaran volume tersebut tergantung juga pada sistem
pengolahan limbah pabrik.Salah satu limbah cair PKS dengan potensi
dampak pencemaran lingkungan adalah lumpur (sludge) yang berasal dari
proses klarifikasi dan disebut dengan lumpur primer. Lumpur yang telah
mengalami proses sedimentasi disebut dengan lumpur sekunder.
Lumpur mempunyai kandungan bahan organik yang tinggi dengan pH kurang dari 5.
Limbah
padat PKS dikelompokkan menjadi dua, yaitu limbah yangberasal dari
pengolahan dan yang berasal dari basis pengolahan limbah cair. Limbah
padat yang berasal dari proses pengolahan berupa tandan buah kosong
(TBK = empty fruit bunch) yang terbuang dari penebah setelah tandan
rebus dipisahkan dari buahnya, cangkang atau tempurung (palm shell), dan
serabut atau serat (fiber). Sedangkan limbah padat yang berasal dari
pengolahan limbah cair berupa lumpur aktif yang terbawa oleh hasil
pengolahan air limbah (Rohmadi, 2006 dalam Tarkono, 2007).
Disuatu pabrik kelapa sawit (PKS) Kebutuhan listrik adalah sekitar 14
– 16 kWh/ton TBS. Untuk keperluan penerangan dan lain-lain waktu pabrik
tidak atau belum mulai mengolah dapat dipasang diesel sebagai
pembangkit listrik. Diesel juga biasa diinstalasikan sebagai pembangkit
cadangan.Pembangkitan energi merupakan salah satu manfaat yang dapat
diperoleh dari pengolahan limbah PKS. Pemanfaatan dalam bentuk energi
ini berpotensi besar mengingat limbah tersebut masih memiliki nilai
kalor yang cukup tinggi.
Pada dasarnya semua limbah padat PKS dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan energi dalam PKS, yaitu sebagai bahan bakar ketel uap untuk memasok kebutuhan uap panas dan pembangkitan listrik. Limbah serabut dan cangkang dapat dipakai langsung begitu keluar dari proses produksi sebagai bahan bakar. Tergantung pada rancangannya, ketel uap dapat dioperasikan dengan memanfaatkan 100% cangkang, 100% serabut atau kombinasi antara keduanya. Proses konversi energi untuk menghasilkan uap yang diperlukan dalam pembangkitan listrik maupun keperluan proses diperoleh dari pembakaran langsung. Pembakaran merupakan proses oksidasi bahan bakar yang berlangsung secara cepat untuk menghasilkan energi dalam bentuk kalor. Karena bahan bakar biomassa utamanya tersusun dari karbon, hidrogen dan oksigen, maka produk oksidasi utama adalah karbondioksida dan air, meskipun adanya nitrogen terikat juga dapat menjadi sumber emisi oksida nitrogen. Tergantung dari nilai kalor dan kandungan air di bahan bakar, udara yang diperlukan untuk membakar
bahan bakar serta konstruksi tanur, suhu pijar dapat melebihi 1650oC. Energi listrik yang dapat dibangkitkan dengan bahan bakar cangkang dan serabut dapat diilustrasikan sebagai berikut. Untuk sebuah PKS dengan kapasitas 100 ribu ton TBS per tahun akan dihasilkan sekitar 6 ribu ton cangkang dan 12 ribu ton serabut. Dengan mengasumsi bahwa efisiensi pembangkitan sekitar 25%, akan diperoleh energi listrik sebesar 7,2 – 8,4 GW(e)h untuk cangkang dan 9,2 – 15,9 GW(e)h untuk serabut. Karena kebutuhan listrik untuk produksi adalah sebesar1,4 – 1,6 GW(e)h, PKS mampu mandiri dalam hal pasok energi untuk kebutuhan operasionalnya. TBK pun bisa dimanfaatkan sebagai bahan bakar. Energi yang dihasilkan dapat dikonversikan menjadi listrik dengan jumlah yang cukup signifikan. Sebagai ilustrasi, sebuah PKS dengan kapasitas 100 ribu ton TBS per tahun menghasilkan sekitar 23 ribu ton TBK yang mampu membangkitkan energi ekuivalen dengan 30 GW(e)h pada tingkat efisiensi konversi 25%. Berbeda dengan limbah serabut dan cangkang, karena kadar airnya yang tinggi (antara 65% -70%), TBK terlebih dahulu memerlukan proses pengeringan dalam bangsal penyimpanan, tanpa penyinaran matahari langsung. Proses ini memerlukan ruangan yang cukup besar. Itu sebabnya jika TBK hendak dimanfaatkan dalam jumlah banyak untuk pembangkitan listrik, TBK segar dapat dilewatkan lebih dahulu dalam perajang (muncher) untuk kemudian diperas dalam kempa. Sebagai imbalan akan dapat diperoleh kembali minyak dan inti sawit yang tadinya akan hilang sebagai buah yang tertinggal dalam TBK.
Dalam kondisi TBK tidak dipakai untuk keperluan energi karena kadar airnya yang tinggi, limbah padat yang lain (serabut ditambah dengan cangkang) akan menjadi alternatifnya. TBK yang sudah dikeringkan dapat digunakan pula untuk pembakaran permulaan (fire up) sebelum pabrik menghasilkan limbah serabut. Keperluan TBK untuk ini biasanya hanya sedikit, sehingga masih banyak sisanya. Sampai di sini pemanfaatan terpadu limbah PKS memungkinkan dijalankannya mekanisme combined heat and Power (CHP) yang sekaligus menghasilkan uap untuk pabrik minyak kelapa sawit dan listrik untuk disalurkan ke jaringanlistrik di dalam maupun luar PKS, lokal maupun propinsi.
Pada dasarnya semua limbah padat PKS dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan energi dalam PKS, yaitu sebagai bahan bakar ketel uap untuk memasok kebutuhan uap panas dan pembangkitan listrik. Limbah serabut dan cangkang dapat dipakai langsung begitu keluar dari proses produksi sebagai bahan bakar. Tergantung pada rancangannya, ketel uap dapat dioperasikan dengan memanfaatkan 100% cangkang, 100% serabut atau kombinasi antara keduanya. Proses konversi energi untuk menghasilkan uap yang diperlukan dalam pembangkitan listrik maupun keperluan proses diperoleh dari pembakaran langsung. Pembakaran merupakan proses oksidasi bahan bakar yang berlangsung secara cepat untuk menghasilkan energi dalam bentuk kalor. Karena bahan bakar biomassa utamanya tersusun dari karbon, hidrogen dan oksigen, maka produk oksidasi utama adalah karbondioksida dan air, meskipun adanya nitrogen terikat juga dapat menjadi sumber emisi oksida nitrogen. Tergantung dari nilai kalor dan kandungan air di bahan bakar, udara yang diperlukan untuk membakar
bahan bakar serta konstruksi tanur, suhu pijar dapat melebihi 1650oC. Energi listrik yang dapat dibangkitkan dengan bahan bakar cangkang dan serabut dapat diilustrasikan sebagai berikut. Untuk sebuah PKS dengan kapasitas 100 ribu ton TBS per tahun akan dihasilkan sekitar 6 ribu ton cangkang dan 12 ribu ton serabut. Dengan mengasumsi bahwa efisiensi pembangkitan sekitar 25%, akan diperoleh energi listrik sebesar 7,2 – 8,4 GW(e)h untuk cangkang dan 9,2 – 15,9 GW(e)h untuk serabut. Karena kebutuhan listrik untuk produksi adalah sebesar1,4 – 1,6 GW(e)h, PKS mampu mandiri dalam hal pasok energi untuk kebutuhan operasionalnya. TBK pun bisa dimanfaatkan sebagai bahan bakar. Energi yang dihasilkan dapat dikonversikan menjadi listrik dengan jumlah yang cukup signifikan. Sebagai ilustrasi, sebuah PKS dengan kapasitas 100 ribu ton TBS per tahun menghasilkan sekitar 23 ribu ton TBK yang mampu membangkitkan energi ekuivalen dengan 30 GW(e)h pada tingkat efisiensi konversi 25%. Berbeda dengan limbah serabut dan cangkang, karena kadar airnya yang tinggi (antara 65% -70%), TBK terlebih dahulu memerlukan proses pengeringan dalam bangsal penyimpanan, tanpa penyinaran matahari langsung. Proses ini memerlukan ruangan yang cukup besar. Itu sebabnya jika TBK hendak dimanfaatkan dalam jumlah banyak untuk pembangkitan listrik, TBK segar dapat dilewatkan lebih dahulu dalam perajang (muncher) untuk kemudian diperas dalam kempa. Sebagai imbalan akan dapat diperoleh kembali minyak dan inti sawit yang tadinya akan hilang sebagai buah yang tertinggal dalam TBK.
Dalam kondisi TBK tidak dipakai untuk keperluan energi karena kadar airnya yang tinggi, limbah padat yang lain (serabut ditambah dengan cangkang) akan menjadi alternatifnya. TBK yang sudah dikeringkan dapat digunakan pula untuk pembakaran permulaan (fire up) sebelum pabrik menghasilkan limbah serabut. Keperluan TBK untuk ini biasanya hanya sedikit, sehingga masih banyak sisanya. Sampai di sini pemanfaatan terpadu limbah PKS memungkinkan dijalankannya mekanisme combined heat and Power (CHP) yang sekaligus menghasilkan uap untuk pabrik minyak kelapa sawit dan listrik untuk disalurkan ke jaringanlistrik di dalam maupun luar PKS, lokal maupun propinsi.
Energi yang cukup besar dapat diperoleh pula dari pengolahan limbah cair. Pengolahan limbah cair dilakukan dengan proses bertingkat yang memanfaatkan kolam-kolam terbuka. Untuk PKS kapasitas sampai kira-kira 80 ton TBS per jam, dibutuhkan kolam-kolam dengan luas belasan hektar. Inti proses tersebut adalah biodegradasi komponenorganik limbah tersebut. Dekomposisi anaerobik meliputi penguraian bahan organik majemuk menjadi senyawa asam-asam organik dan selanjutnya diurai menjadi gas-gas dan air. Gas metana akan terbentuk selama limbah cair diolah dalam kolam terbuka tersebut.Gas metana yang dihasilkan proses tersebut merupakan komponen terbesar biogas. Ini dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi jika diolah dalam sistem digester anaerob. Limbah cair kelapa sawit sebesar 0,6-0,7 ton dapat menghasilkan biogas sekitar 20 m3 (Goenadi, 2006). Proses pembentukan metana dapat dibagi menjadi tiga tahapan: hidrolisis, asetogenesis (dehidrogenesis) dan metanogenesis (Sorensen, 2004). Pada tahap hidrolisis, terjadi dekomposisi bahan biomassa kompleks menjadi glukosa sederhana memakai enzim yang dihasilkan oleh mikroorganisme sebagai katalis. Hasil penting tahap pertama ini adalah bahwa biomassa menjadi dapat larut ke dalam air dan mempunyai bentuk kimia lebih sederhana yang lebih sesuai untuk tahap berikutnya.Di langkah kedua terjadi dehidrogenasi (pengambilan atom hidrogen dari bahan biomassa) yaitu perubahan glukosa jadi asam asetat, karboksilasi (pengambilan grup karboksil) asam amino, memecah asam lemak rantai panjang jadi asam rantai pendek dan menghasilkan asam asetat sebagai produk akhir. Tahap ketiga adalah pembentukan biogas dari asam asetat lewat fermentasi oleh bakteri metanogenik. Salah satu bakteri metanogenik yang populer dan banyak terdapat dalam lumpur adalah methanobachillus omelianskii. Metabolisme anaerobik selulosa melibatkan reaksi kompleks dan prosesnya lebih sulit daripada reaksi anaerobik bahan-bahan organik lain seperti karbohidrat, protein dan lemak. Pada pabrik kelapa sawit yang mengolah 40 ton TBS/jam akan dihasilkan limbah cair sebanyak 20 m3/jam (dasar perhitungan: 55% dari TBS dengan berat jenis 1,1 g/cm3; Kartiman, 2008). Jika pabrik bekerja selama 20 jam/hari, maka akan dihasilkan limbah cair sebanyak 400 m3 per hari.Nilai Kalor Limbah Pabrik Kelapa Sawit (diolah dari Sukimin, 2007, Isroi dan Mahajoeno, 2007, Goenadi, 2006, dan Sydgas, 1998).
Cangkang : 4105 – 4802 kkal/kg
Serat : 2637 – 4554 kkal/kg
TBK : 4492 kkal/kg
Batang : 4176 kkal/kg
Pelepah : 3757 kkal/kg
POME : 4695 – 8569 kkal/m3
Sebagai catatan, 1 kkal = 4187 Joule = 1,163 Wh. Untuk sebuah PKS dengan asumsi kapasitas 100 ribu ton TBS per tahun, dengan memasukkan rentang nilai kalor di atas, maka bisa diperoleh energi antara 1,38 – 2,52 GW(e)h.
Alternatif lain yang relatif sederhana untuk mendapatkan manfaat energi limbah padat kelapa sawit adalah dengan terlebih dahulu mengolah limbah tersebut menjadi briket arang. Tandan kosong sawit memiliki kandungan air yang tinggi. Ini membuat efisiensi termal TBK rendah dan lagi pembakarannya secara langsung akan menimbulkan polusi asap yang cukup mengganggu. Karena itu pemanfaatan TBK sebagai bahan bakar harus melewati pengolahan terlebih dahulu. Briket arang menjadi bentuk alternatif. Setiap hektar kebun kelapa sawit rata-rata menghasilkan 2 – 5 ton cangkang per tahun, tergantung salah satunya pada produktivitas kebun. Saat ini cangkang dimanfaatkan sebagai bahan bakar untuk boiler dan bahan pengeras jalan sebagai pengganti sirtu (campuran pasir dan batu). Tergantung pada pola dan volume pemanfaatannya, dimungkinkan dijumpainya sisa cangkang dalam jumlah banyak. Sama dengan model pemanfaatan TBK, briket arang juga merupakan salah bentuk alternatif pemanfaatan cangkang.
Briket arang dibuat dengan membakar limbah PKS dalam tungku pengarangan dengan kondisi pembakaran langsung dalam kondisi udara terkontrol. Sifat bahan yang berbeda membuat dibutuhkannya tungku jenis vertikal untuk TBK dan horisontal untuk cangkang. Ini dibutuhkan guna menghasilkan arang bermutu tinggi (Nilai Kalor > 5000 kalori/gram). Arang yang dihasilkan kemudian digiling dengan diberi perekat, misal pati dengan konsentrasi tertentu. Hasil proses tersebut dicetak dengan memakai tekanan hidraulik. Ukuran cetakan dapat disesuaikan dengan permintaan pasar. Setelah dikeringkan sesuai standar perdagangan, briket tersebut siap dipasarkan.
Sebagai ilustrasi singkat, untuk PKS berkapasitas 30 ton tandan buah segar tiap jam akan menghasilkan sekitar 120 ton tandan kosong sawit per hari yang dapat diolah menjadi 25 – 30 ton briket arang (setara dengan 146 – 175 MW(t)h).
Dari hasil ini terlihat bahwa begitu besar manfaat limbah pabrik kelapa sawit yang selama ini terkadang hanya terbuang percuma dan malah sering merusak ekosistem sekitarnya jika tidak diolah dengan baik. Bahkan krisis energi yang sekarang lagi kita alami dapat terkurangi dengan adanya pemanfaatan limbah ini.
Sumber referensi :
#dedysuhendramarpaung.blogspot.com/2009/04/pemanfaatan-limbah-pabrik-kelapa-sawit
# fisika.brawijaya.ac.id
# images.google.co.id
#http://tombomumet.wordpress.com/networking/minyak-jarak-pengganti-solar/pemanfaatan-limbah-pabrik-kelapa-sawit-sebagai-pembangkit-listrik/