Senin, 17 Februari 2014

Pemanfaatan Limbah Pabrik Kelapa Sawit Sebagai Pembangkit Listrik

 
 Kelapa sawit merupakan salah satu komiditi terbesar di beberapa daerah di Indonesia.Terutama di pulau Kalimantan dan Sumatera.Hal inilah yang mengharuskan dibangunnnya pabrik-pabrik kelapa sawit di daerah yang berdeketan dengan perkebunan kelapa sawit.Dengan adanya pabrik-pabrik ini,menyebabkan banyaknya limbah yang dihasilkan dari proses produksi yang dijalankan di pabrik-pabrik tersebut.
Aktivitas produksi pabrik kelapa sawit (PKS) menghasilkan limbah dalam volume sangat besar. Limbah yang dihasilkan dapat berupa padatan maupun cair. Limbah tersebut memiliki nilai kalor cukup tinggi. Pemanfaatannya akan menghasilkanbahan bakar yang bisa dipakai salah satunya untuk pembangkitan listrk.
Untuk sebuah PKS dengan kapasitas 100 ribu ton tandan buah segar (TBS) per tahun akan dihasilkan sekitar 6 ribu ton cangkang, 12 ribu ton serabut dan 23 ribu ton tandan buah kosong (TBK). Serabut dan cangkang dapat dipakai langsung begitu keluar dari proses produksi sebagai bahan bakar, sedang TBK harus mengalami pengeringan tanpa sinar matahari langsung. Dengan efisiensi pembangkitan sekitar 25%, dapat diperoleh energi listrik sebesar 7,2 – 8,4 GW(e)h untuk cangkang, 9,2 – 15,9GW(e)h untuk serabut, dan 30 GW(e)h untuk TBK. Melalui digester anaerob, dapat diperolah biogas dari limbah cairnya.Dengan kapasitas dan asumsi sama, listrik yang dapat dibangkitkan minimal sebesar 1,38 GW(e)h. Untuk kondisi ini kebutuhan listrik untuk produksi adalah sebesar 1,4 – 1,6 GW(e)h. Penanganan limbah dengan baik akan mampu menekan potensi pencemaran lingkungan dan menghasilkan listrik untuk operasional PKS sekaligus kebutuhan di daerah sekitar.
Secara umum, limbah PKS dikelompokkan menjadi limbah padat dan limbah cair (Palm Oil Mill Effluent/POME). Biasanya limbah cair tersebut mengandung bahan organik dalam kadar tinggi sehingga berpotensi mencemari lingkungan karena diperlukan degradasi bahan organik yang lebih besar. Mekanisme kontrol konsumsi air di seluruh proses di pabrik akan menentukan pemakaian air dan sekaligus volume air limbah yang dihasilkan oleh PKS. Untuk tiap ton TBS yang diolah dalam PKS diperlukan antara 1 – 2 ton air (Tobing, 1997). Pasok air biasa diambil dari lingkungan sekitar, misal sungai. Limbah cair yang dihasilkan sekitar 550 kg per ton TBS yang diolah, dengan berat jenis antara 1,05 hingga 1,1 g/cm3 (Kartiman, 2008). Mangoensoekarjo dan Semangun (2005) menyebutkan bahwa limbah cair mencapai 40% – 70% TBS yang diolah. Kisaran volume tersebut tergantung juga pada sistem pengolahan limbah pabrik.Salah satu limbah cair PKS dengan potensi dampak pencemaran lingkungan adalah lumpur (sludge) yang berasal dari proses klarifikasi dan disebut dengan lumpur primer. Lumpur yang telah mengalami proses sedimentasi disebut dengan lumpur sekunder.
Lumpur mempunyai kandungan bahan organik yang tinggi dengan pH kurang dari 5.
Limbah padat PKS dikelompokkan menjadi dua, yaitu limbah yangberasal dari pengolahan dan yang berasal dari basis pengolahan limbah cair. Limbah padat yang berasal dari proses pengolahan berupa tandan buah kosong (TBK = empty fruit bunch) yang terbuang dari penebah setelah tandan rebus dipisahkan dari buahnya, cangkang atau tempurung (palm shell), dan serabut atau serat (fiber). Sedangkan limbah padat yang berasal dari pengolahan limbah cair berupa lumpur aktif yang terbawa oleh hasil pengolahan air limbah (Rohmadi, 2006 dalam Tarkono, 2007).
Disuatu pabrik kelapa sawit (PKS) Kebutuhan listrik adalah sekitar 14 – 16 kWh/ton TBS. Untuk keperluan penerangan dan lain-lain waktu pabrik tidak atau belum mulai mengolah dapat dipasang diesel sebagai pembangkit listrik. Diesel juga biasa diinstalasikan sebagai pembangkit cadangan.Pembangkitan energi merupakan salah satu manfaat yang dapat diperoleh dari pengolahan limbah PKS. Pemanfaatan dalam bentuk energi ini berpotensi besar mengingat limbah tersebut masih memiliki nilai kalor yang cukup tinggi.

Pada dasarnya semua limbah padat PKS dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan energi dalam PKS, yaitu sebagai bahan bakar ketel uap untuk memasok kebutuhan uap panas dan pembangkitan listrik. Limbah serabut dan cangkang dapat dipakai langsung begitu keluar dari proses produksi sebagai bahan bakar. Tergantung pada rancangannya, ketel uap dapat dioperasikan dengan memanfaatkan 100% cangkang, 100% serabut atau kombinasi antara keduanya. Proses konversi energi untuk menghasilkan uap yang diperlukan dalam pembangkitan listrik maupun keperluan proses diperoleh dari pembakaran langsung. Pembakaran merupakan proses oksidasi bahan bakar yang berlangsung secara cepat untuk menghasilkan energi dalam bentuk kalor. Karena bahan bakar biomassa utamanya tersusun dari karbon, hidrogen dan oksigen, maka produk oksidasi utama adalah karbondioksida dan air, meskipun adanya nitrogen terikat juga dapat menjadi sumber emisi oksida nitrogen. Tergantung dari nilai kalor dan kandungan air di bahan bakar, udara yang diperlukan untuk membakar
bahan bakar serta konstruksi tanur, suhu pijar dapat melebihi 1650oC. Energi listrik yang dapat dibangkitkan dengan bahan bakar cangkang dan serabut dapat diilustrasikan sebagai berikut. Untuk sebuah PKS dengan kapasitas 100 ribu ton TBS per tahun akan dihasilkan sekitar 6 ribu ton cangkang dan 12 ribu ton serabut. Dengan mengasumsi bahwa efisiensi pembangkitan sekitar 25%, akan diperoleh energi listrik sebesar 7,2 – 8,4 GW(e)h untuk cangkang dan 9,2 – 15,9 GW(e)h untuk serabut. Karena kebutuhan listrik untuk produksi adalah sebesar1,4 – 1,6 GW(e)h, PKS mampu mandiri dalam hal pasok energi untuk kebutuhan operasionalnya. TBK pun bisa dimanfaatkan sebagai bahan bakar. Energi yang dihasilkan dapat dikonversikan menjadi listrik dengan jumlah yang cukup signifikan. Sebagai ilustrasi, sebuah PKS dengan kapasitas 100 ribu ton TBS per tahun menghasilkan sekitar 23 ribu ton TBK yang mampu membangkitkan energi ekuivalen dengan 30 GW(e)h pada tingkat efisiensi konversi 25%. Berbeda dengan limbah serabut dan cangkang, karena kadar airnya yang tinggi (antara 65% -70%), TBK terlebih dahulu memerlukan proses pengeringan dalam bangsal penyimpanan, tanpa penyinaran matahari langsung. Proses ini memerlukan ruangan yang cukup besar. Itu sebabnya jika TBK hendak dimanfaatkan dalam jumlah banyak untuk pembangkitan listrik, TBK segar dapat dilewatkan lebih dahulu dalam perajang (muncher) untuk kemudian diperas dalam kempa. Sebagai imbalan akan dapat diperoleh kembali minyak dan inti sawit yang tadinya akan hilang sebagai buah yang tertinggal dalam TBK.
Dalam kondisi TBK tidak dipakai untuk keperluan energi karena kadar airnya yang tinggi, limbah padat yang lain (serabut ditambah dengan cangkang) akan menjadi alternatifnya. TBK yang sudah dikeringkan dapat digunakan pula untuk pembakaran permulaan (fire up) sebelum pabrik menghasilkan limbah serabut. Keperluan TBK untuk ini biasanya hanya sedikit, sehingga masih banyak sisanya. Sampai di sini pemanfaatan terpadu limbah PKS memungkinkan dijalankannya mekanisme combined heat and Power (CHP) yang sekaligus menghasilkan uap untuk pabrik minyak kelapa sawit dan listrik untuk disalurkan ke jaringanlistrik di dalam maupun luar PKS, lokal maupun propinsi.

Energi yang cukup besar dapat diperoleh pula dari pengolahan limbah cair. Pengolahan limbah cair dilakukan dengan proses bertingkat yang memanfaatkan kolam-kolam terbuka. Untuk PKS kapasitas sampai kira-kira 80 ton TBS per jam, dibutuhkan kolam-kolam dengan luas belasan hektar. Inti proses tersebut adalah biodegradasi komponenorganik limbah tersebut. Dekomposisi anaerobik meliputi penguraian bahan organik majemuk menjadi senyawa asam-asam organik dan selanjutnya diurai menjadi gas-gas dan air. Gas metana akan terbentuk selama limbah cair diolah dalam kolam terbuka tersebut.Gas metana yang dihasilkan proses tersebut merupakan komponen terbesar biogas. Ini dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi jika diolah dalam sistem digester anaerob. Limbah cair kelapa sawit sebesar 0,6-0,7 ton dapat menghasilkan biogas sekitar 20 m3 (Goenadi, 2006). Proses pembentukan metana dapat dibagi menjadi tiga tahapan: hidrolisis, asetogenesis (dehidrogenesis) dan metanogenesis (Sorensen, 2004). Pada tahap hidrolisis, terjadi dekomposisi bahan biomassa kompleks menjadi glukosa sederhana memakai enzim yang dihasilkan oleh mikroorganisme sebagai katalis. Hasil penting tahap pertama ini adalah bahwa biomassa menjadi dapat larut ke dalam air dan mempunyai bentuk kimia lebih sederhana yang lebih sesuai untuk tahap berikutnya.Di langkah kedua terjadi dehidrogenasi (pengambilan atom hidrogen dari bahan biomassa) yaitu perubahan glukosa jadi asam asetat, karboksilasi (pengambilan grup karboksil) asam amino, memecah asam lemak rantai panjang jadi asam rantai pendek dan menghasilkan asam asetat sebagai produk akhir. Tahap ketiga adalah pembentukan biogas dari asam asetat lewat fermentasi oleh bakteri metanogenik. Salah satu bakteri metanogenik yang populer dan banyak terdapat dalam lumpur adalah methanobachillus omelianskii. Metabolisme anaerobik selulosa melibatkan reaksi kompleks dan prosesnya lebih sulit daripada reaksi anaerobik bahan-bahan organik lain seperti karbohidrat, protein dan lemak. Pada pabrik kelapa sawit yang mengolah 40 ton TBS/jam akan dihasilkan limbah cair sebanyak 20 m3/jam (dasar perhitungan: 55% dari TBS dengan berat jenis 1,1 g/cm3; Kartiman, 2008). Jika pabrik bekerja selama 20 jam/hari, maka akan dihasilkan limbah cair sebanyak 400 m3 per hari.Nilai Kalor Limbah Pabrik Kelapa Sawit (diolah dari Sukimin, 2007, Isroi dan Mahajoeno, 2007, Goenadi, 2006, dan Sydgas, 1998).
Cangkang : 4105 – 4802 kkal/kg
Serat : 2637 – 4554 kkal/kg
TBK : 4492 kkal/kg
Batang : 4176 kkal/kg
Pelepah : 3757 kkal/kg
POME : 4695 – 8569 kkal/m3
Sebagai catatan, 1 kkal = 4187 Joule = 1,163 Wh. Untuk sebuah PKS dengan asumsi kapasitas 100 ribu ton TBS per tahun, dengan memasukkan rentang nilai kalor di atas, maka bisa diperoleh energi antara 1,38 – 2,52 GW(e)h.

Alternatif lain yang relatif sederhana untuk mendapatkan manfaat energi limbah padat kelapa sawit adalah dengan terlebih dahulu mengolah limbah tersebut menjadi briket arang. Tandan kosong sawit memiliki kandungan air yang tinggi. Ini membuat efisiensi termal TBK rendah dan lagi pembakarannya secara langsung akan menimbulkan polusi asap yang cukup mengganggu. Karena itu pemanfaatan TBK sebagai bahan bakar harus melewati pengolahan terlebih dahulu. Briket arang menjadi bentuk alternatif. Setiap hektar kebun kelapa sawit rata-rata menghasilkan 2 – 5 ton cangkang per tahun, tergantung salah satunya pada produktivitas kebun. Saat ini cangkang dimanfaatkan sebagai bahan bakar untuk boiler dan bahan pengeras jalan sebagai pengganti sirtu (campuran pasir dan batu). Tergantung pada pola dan volume pemanfaatannya, dimungkinkan dijumpainya sisa cangkang dalam jumlah banyak. Sama dengan model pemanfaatan TBK, briket arang juga merupakan salah bentuk alternatif pemanfaatan cangkang.
Briket arang dibuat dengan membakar limbah PKS dalam tungku pengarangan dengan kondisi pembakaran langsung dalam kondisi udara terkontrol. Sifat bahan yang berbeda membuat dibutuhkannya tungku jenis vertikal untuk TBK dan horisontal untuk cangkang. Ini dibutuhkan guna menghasilkan arang bermutu tinggi (Nilai Kalor > 5000 kalori/gram). Arang yang dihasilkan kemudian digiling dengan diberi perekat, misal pati dengan konsentrasi tertentu. Hasil proses tersebut dicetak dengan memakai tekanan hidraulik. Ukuran cetakan dapat disesuaikan dengan permintaan pasar. Setelah dikeringkan sesuai standar perdagangan, briket tersebut siap dipasarkan.
Sebagai ilustrasi singkat, untuk PKS berkapasitas 30 ton tandan buah segar tiap jam akan menghasilkan sekitar 120 ton tandan kosong sawit per hari yang dapat diolah menjadi 25 – 30 ton briket arang (setara dengan 146 – 175 MW(t)h).
Dari hasil ini terlihat bahwa begitu besar manfaat limbah pabrik kelapa sawit yang selama ini terkadang hanya terbuang percuma dan malah sering merusak ekosistem sekitarnya jika tidak diolah dengan baik. Bahkan krisis energi yang sekarang lagi kita alami dapat terkurangi dengan adanya pemanfaatan limbah ini.



Sumber referensi :
#dedysuhendramarpaung.blogspot.com/2009/04/pemanfaatan-limbah-pabrik-kelapa-sawit
# fisika.brawijaya.ac.id
# images.google.co.id
#http://tombomumet.wordpress.com/networking/minyak-jarak-pengganti-solar/pemanfaatan-limbah-pabrik-kelapa-sawit-sebagai-pembangkit-listrik/

Jumat, 14 Februari 2014



Cara Pembuatan Virgin Coconut Oil (VCO) Skala Rumah Tangga


Terdapat dua cara dalam pembuatan VCO yaitu dengan cara pemanasan bertahap dan terkontrol, dan dengan cara tanpa pemanasan. Teknik pembuatan VCO dilakukan dengan cara pemanasan bertahap dan terkontrol:
1.      Persiapan bahan baku.
Bahan utama pembuatan VCO adalah buah kelapa segar yang sudah tua atau matang dengan ciri-ciri sabut berwarna coklat dan buah belum ada yang berkecambah. Umur buah kelapa berkisar 11-12 bulan. Buah kelapa yang demikian akan menghasilkan rendemen minyak yang banyak.
2.      Pembuatan santan.
Santan dibuat dengan cara kelapa dikupas don diparut dengan mesin pemarut kemudian diperas dengan air bersih dengan perbandingan air don kelapa 2: 1. Pemisahan suntan don ampas kelapa dilakukan dengan cara disaring menggunnkan kain atau saringan.
3.      Pemisahan krim.
Santan ditempatkan dalam wadah plastik atau ember plastik transparan. Penggunaan wadah ember plastik transparan bertujuan agar bahan santan dalam wadah akan tampak dari luar. Dengan demikian pemisahan santan dengan krim akan mudah diamati. Santan didiamkan selama 3 jam. Setelah 3 jam suntan akan terpisah menjadi tiga lapisan yaitu krim (kaya minyak), lapisan tengah berupa skim (kaya protein) dan lapisan bawah berupa endapan. Bagian yang dimanfaatkan untuk pembuatan VCO adalah krim. Krim dipisahkan dengan menggunakan selang plastik kecil, satu ujung selang diletakkan pada lapisan krim dan u jung lain pada wadah penampung.
4.      Pemanasan krim santan.
Krim merupakan bagian santan yang kaya minyak. Agar kandungan minyak dapat diambil dari krim maka diperlukan proses pemanasan pada suhu 80 - 100 ° C. Pemanasan dapat dilakukan di atas api menggunakan wajan yang baru (tidak bekas pengolahan produk lain). Hal ini dilakukan untuk menghindari perubahan dan warna dari minyak yang dihasilkan. Pengadukan dilakukan secara terus menerus. Lama pemanasan santan sampai diperoleh minyak yang belum matang adalah 3 jam ditandai terbentuknya blondo. Blondo yang terbentuk masih berwarna putih dan masih mengandung minyak 10 - 15 %. Untuk mengeluarkan minyak dari blondo dilakukan pengepresan blondo. Bahan minyak didinginkan dan disaring sebanyak tiga kali dengan menggunakan kertas saring.
5.      Pemanasan minyak.
Untuk mendapatkan minyak murni, minyak yang belum matang dipanaskan kembali. Pemanasan dilakukan pada suhu 80 - 100° C sampai minyak berwarna bening. Bila masih ada blondo, blondonya berwarna coklat muda.
6.      Penyaringan minyak.
Minyak (VCO) yang berwarna bening diangkat dan didinginkan. Setelah dingin minyak disaring dengan kertas saring dan ditampung dengan wadah kaca. Kertas saring dapat diperoleh di apotik. Agar penyaringan efisien, sebaiknya wadah penampungnya berupa gelas atau wadah kaca yang bermulut kecil.
7.      Pengemasan.
Setelah disaring beberapa kali (3 - 4 kali) VCO yang diperoleh berwarna bening dikemas dengan menggunakan botol-botol dari bahan plastik atau kaca dengan ukuran sesuai selera dan ditutup kedap serta dilabel. Selan jutnya VCO siap dipasarkan.

Proses pembuatan VCO juga bisa dilakukan dengan proses dingin tanpa pemanasan. Langkah pertama memeras santan menggunakan air kelapa, proses berikutnya menambahkan enzim dari nanas (ananase), getah pepaya (papain) atau Kepiting sungai/yuyu yang dihaluskan. Selain dengan menambahkan enzim, fermentasi juga bisa dilakukan dengan menambahkan starter khamir Saccharomyces cereviseae atau ragi roti. Fermentasikan dalam suhu 30 – 35 derajat selama 12 jam. Diamkan selama satu malam, keesokan paginya tinggal memisahkan blondo dengan minyak.